Jumat, 23 Desember 2011

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI NILAI KEPADA PEMBELAJARAN KELAS BERTARAF INTERNASIONAL

Abstrak
Pendidikan yang mencakup tujuan, kurikulum serta metode-metode dalam pelaksanaannya seharusnya tidak terlepas dari nilai-nilai/value yang ada di dalam kehidupan. Tujuan pendidikan meliputi pengembangan diri individu secara menyeluruh yang mencakup intelektual, social, emosional, aesthetic, moral dan spiritual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak dapat terpisah dari nilai-nilai. Demikian halnya pada pelaksanaan pembelajaran pada kelas bertaraf internasional, sudah seharusnya mencakup pengembangan kompetensi nilai-nilai.
Nilai berkaitan dengan morally, sedangkan morally berkaitan dengan autonomy dan reasonableness (Tim Sprod, 2001). Dalam keterkaitannya dengan pengembangan kompetensi nilai kepada kelas bertaraf internasional juga perlu diperhatikan nilai-nilai diri siswa sebagais seorang individu sekaligus sebagai bagian dari lingkungan social. Dengan demikian diperlukan suatu sinergisitas antara pengembangan kompetensi nilai secara interen dengan social.


PENDAHULUAN
Education is a process of bringing about ‘desirable’ changes in the way one thinks, feels and acts in accordance with one's concept of the good life” (C. Seshadri, 2005: 10). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan merupakan suatu proses untuk mewujudkan perubahan yang sesuai dengan harapan terkait dengan cara berpikir, perasaan dan sikap dalam keterkaitannya dengan konsep kehidupan yang baik. Dengan demikian dalam pendidikan menyangkut adanya transmisi value, dalam hal ini sekolah merupakan salah instrumemnt untuk merealisasikan hal tersebut.
Pendidikan yang mencakup tujuan, kurikulum serta metode-metode dalam pelaksanaannya seharusnya tidak terlepas dari nilai-nilai/value yang ada di dalam kehidupan. Tujuan pendidikan meliputi pengembangan diri individu secara menyeluruh yang mencakup intelektual, social, emosional, aesthetic, moral dan spiritual. Kurikulum yang merupakan serangkaian rencana dari kemampuan akan pengetahuan, sikap, dan nilai yang diharapkan mampu dimiliki oleh siswa perlu di design agar tidak mengekang kebebasan dan otonom peserta didik (Seshadri, 2005: 10). Oleh karena itu Seshadri (2005) mengistilahkan adanya value education” serta menekankan akan pentingnya value education dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Pendidikan di Indonesia juga tidak sekedar berorientasi pada pengembangan kemampuan intelektual semata. Terdapat nilai-nilai serta norma dalam kehidupan yang seharusnya dapat dimiliki siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas. Seshadri (2005: 12) menyatakan bahwa dalam pendidikan, pengembangan juga mencakup pengembangan sensitivitas/kepekaan terhadap baik, benar, keindahan, dan kemampuan untuk memilih nilai yang tepat dalam keterkaitannnya dengan kehidupan yang ideal melalui internasisasi dan realisasi nilai-nilai tersebut dalam pemikiran dan tindakan. Tidak hanya sekedar mengetahui yang benar dan baik, namun juga perasaan untuk menjaga (care), mengendalikan emosi, dan peduli dan berkomitmen serta melatih kemauan (the will) untuk melakukan hal yang benar. Dengan kata lain untuk mengajarkan nilai merupakan suatu pengembangan terhadap pemikiran kritis dan logis, mengendalikan emosi, mengelola imaginasi, menguatkan keyakinan/kemauan dan melatih karakter dari peserta didik. Dalam keterkaitannya dengan pelaksanaan kelas bertaraf internasional, value education juga menjadi suatu hal yang perlu ditekankan agar orientasi peserta didik tidak hanya sekedar pengembangan kemampuan intelektual yang bertaraf internasional namun juga disertai dengan pengembangan nilai-nilai/norma-norma kehidupan sebagai jati diri bangsa. Dalam tulisan ini, pembahasan akan lebih dikhususkan pada pengembangan kompetensi nilai pada kelas bertaraf internasional.

PEMBAHASAN
Philosophy Nilai dalam Pendidikan
Education is intrinsically and by definition value-oriented... In fact, education is a subset of a larger setting of culture, and culture consists of cultivation of faculties and powers pertaining to reason, ethics and aesthetics in the light of the pursuit of values of Truth, Beauty and Goodness...” (Joshi, M., 2002). Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa pendidikan secara intrinsic terdefinisi sebagai value oriented atau berorientasi pada nilai. Pendidikan merupakan himpunan bagian dari budaya, dan budaya terdiri atas beragam kemampuan dan kekuatan yang berkaitan dengan sebab, ethic, aestetik dalam upaya mencapai nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Seshadri (2005:10) juga menyatakan “…education necessarily involves the transmission of values”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak dapat terpisah dari nilai-nilai.
Seshadri (2005:10) menyatakan lebih jauh bahwa dalam pendidikan, pengembangan pribadi individu dilakukan secara menyeluruh yang mencakup kemampuan intelektual, social, emosional, aesthetic, moral dan spiritual. Tujuan pendidikan yang mencakup pengembangan kepribadian, pengetahuan, kebudayaan, dan pelatihan karakter bukanlah sekedar pernyataan dari suatu nilai dalam pendidikan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan suatu rancangan kurikulum, rancangan dari pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang diinginkan dapat dimiliki oleh generasi muda. Hal tersebut, dalam pelaksanaannya tentu tanpa melanggar kebebasan dan hak peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan, dalam tujuan, kurikulum, dan metodenya berkaitan dengan nilai-nilai.
Pendidikan yang berorientasi pada nilai bukanlah suatu proses untuk indoktrinasi, dukungan atau propaganda. Tujuan dari pendidikan yang berbasis nilai adalah bukanlah sekedar untuk menjadikan suatu konformitas yang pasif dan pasrah atau patuh pada apapun nilai yang akan dibentuk, tetapi untuk mengarahkan pemikiran kritis dan reflektif, kreatif, rasional dan tanggung jawab dengan tetap menghargai hak peserta didik. Ketika mengadakan pembelajaran berbasis nilai maka sama halnya dengan menempatkan siswa untuk berpikir, menemukan alasan, bertanya, mereflefeksi, perhatian, menjaga, merasa peduli dan menenpatkan siswa untuk bertindak, dsb. Tujuan utamanya yaitu untuk memicu diskusi dan refleksi, dan untuk memunculkan respon kreatif untuk mencapai nilai-nilai (Sesadri, 2005: 11-12).
Berpikir kritis, creative, berkomitmen (committed), kontekstual, dan embodied (kemampuan untuk merepresentasikan ide secara tepat) merupakan aspek dari reasonableness (penalaran) (Tim Sprod, 2001: 14). Lebih jauh, Tim Sprod menyatakan bahwa reasonableness dan autonomy merupakan ide utama/central dalam nilai moral yang dimiliki oleh setiap individu (Tim Sprod, 2001: 11).
Menurut Kant, autonomy is the property the will has of being a law to itself, artinya bahwa autonomy merupakan property yang akan menjadi hukum untuk dirinya sendiri (Tim Sprod, 2001: 44). Lebih lanjut Caygill (Tim Sprod, 2001: 45) menyatakan bahwa autonomy is the rational concept of perfection as a possible effect of our will, artinya autonomy merupakan konsep rasional dari kesempurnaan sebagai akibat dari keinginan kita. Jadi konsep autonomy hanya berdasar pada idealism kesempurnaan, dan tidak berkaitan dengan pengalaman. Menurut Kant (Tim Sprod, 2001: 45) autonomy berkaitan dengan emosi, harapan dan naluri. Misalnya ketika Wanda mengembalikan sebuah dompet yang hilang kepada pemiliknya, maka wanda memilih secara bebas untuk mengembalikan dompet tersebut adalah suatu otonomy pada diri Wanda. Sedangkan Wanda memilih mengembalikan dombet untuk suatu alasan yang baik atau kebaikan, hal tersebut merupakan contoh dari reasonableness.
Dalam kenyataannya, seorang individu juga berada dalam lingkungan social. Dimana, lingkungan social juga memiliki peran dalam perkembangan nilai moral untuk masing-masing individu. Matthews (Tim Sprod, 2001: 86) mengidentifikasi 5 dimensi dari perkembangan moral, antara lain yaitu:
1. A situated, experiential stock of moral paradigms, gradually enriched with further experience, that forms part of the base for moral intuitions, against which the other dimensions may be measured.
2. An increasing ability to be able to offer defining characteristic for moral terms that take account of their complexity;
3. An increasing ability to judge whether a range of cases fall under a particular moral term;
4. A growing sophistication in adjudication of apparently conflicting claims, when moral intuitions collide;
5. A heightening of the moral imagination, based in part of increasing understanding of the world and how it works.


Beberapa ahli yang menyatakan tentang dimensi dari perkembangan moral termasuk Matthews, mendasarkan idenya pada Aristotle’s Virtue Ethics. Tim Sprod (2001: 88) menjabarkan tentang ide dari Aristotle’s Virtue Ethics.
1. The focus of morality is a person, not acts or principles. Untuk menjadi seorang yang baik dan bijak, maka hal yang penting adalah berorientasi pada tujuan hidup manusia yang hakiki.
2. There are many morally salient factors- the virtues. Faktor yang mempengaruhi virtues atau moral yang baik, yaitu intellectual (misalnya theoretical wisdom, understanding, practical wisdom) dan moral (misalnya temperance/ self control, liberality).
3. The virtues have diverse roots. Pertama virtues bersumber dari faktor genetic, dan yang kedua adalah berasal dari sosialisasi.
4. We may win (virtue) by a certain kind of study and care. Merupakan suatu tanggung jawab bagi kita untuk, dan peduli tentang karakter dan tindakan yang harus dilakukan.
5. All applications of the morally salient factors are contextualized. Hence moral judgments can’t be exact.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mengembangkan suatu program/pendidikan nilai moral pada seorang individu merupakan suatu proses, dimana proses yang tersebut berkaitan dengan sumber dari moral yaitu moral yang bersumber dari warisan atau faktor genetic, lingkungan social dan pengaruh dari reasonableness.


Pengembangan Kompetensi Nilai-Nilai Kepada Pembelajaran Kelas Bertaraf Internasional.
Idris Harta (2011: 12) menyatakan bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan serta kebangsaan. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain:
1. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap Tuhan
a) Taat kepada Tuhan YME
b) Syukur (berterima kasih)
c) Ikhlas
d) Sabar (kepada Tuhan)
e) Tawakkal (berserah diri kepada Tuhan)

2. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap diri sendiri

a) Reflektif
b) Percaya diri
c) Rasional
d) Logis, kritis, analitis
e) Kreatif dan Inovatif
f) Mandiri
g) Hidup sehat
h) Bertanggung jawab
i) Cinta ilmu
j) Sabar
k) Berhati-hati
l) Rela berkorban
m) Pemberani
n) Dapat dipercaya
o) Jujur
p) Menepati janji
q) Adil
r) Rendah hati
s) Malu berbuat salah
t) Pemaaf
u) Berhati lembut
v) Setia
w) Bekerja keras
x) Tekun
y) Ulet/gigih
z) Teliti
aa) Berinisiatif
bb) Berpikir Positif
cc) Disiplin
dd) Antisipatif
ee) Inisiatif
ff) Visioner
gg) Bersahaja
hh) Bersemangat
ii) Dinamis
jj) Hemat/efisien
kk) Menghargai waktu
ll) Pengabdian/dedikatif
mm) Pengendalian diri
nn) Produktif
oo) Ramah
pp) Cinta keindahan (estetis)
qq) Sportif
rr) Tabah
ss) Terbuka
tt) Tertib


3. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap sesama

a) Taat peraturan
b) Toleran
c) Peduli
d) Kooperatif
e) Demokratis
f) Apresiatif
g) Santun
h) Bertanggung jawab
i) Menghormati orang lain
j) Menyayangi orang lain
k) Pemurah (dermawan)
l) Mengajak berbuat baik
m) Berbaik sangka
n) Empati
o) Konstruktif


4. Nilai-nilai perilaku manusia terhadap lingkungan
a) Peduli dan bertanggung jawab terhadap pelestarian tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar.
b) Peduli dan bertanggung jawab terhadap pemeliharaan tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar.
c) Peduli dan bertanggung jawab terhadap pemanfaatan tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam sekitar.

5. Nilai-nilai kebangsaan

a) Cinta tanah air
b) Cinta damai
c) Tidak rasis
d) Menjaga persatuan
e) Memiliki semangat membela bangsa/Negara
f) Berbahasa Indonesia dengan baik dan benar
g) Bangga sebagai bangsa Indonesia
h) Mencintai produk sendiri
i) Mencintai seni sendiri
j) Mencintai budaya sendiri
k) Memiliki semangat untuk berkontribusi kepada bangsa/Negara.
Dalam keterkaitannya dengan pelaksanaan pendidikan di Indonesia, termasuk dalam pelaksanaan pendidikan di kelas bertaraf internasional, nilai-nilai tersebut diatas merupakan nilai-nilai yang sebaiknya dapat diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Tahap pengembangan nilai tersebut dilakukan dengan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit) (Idris Harta: 7). Dengan demikian, kompetensi nilai pada kelas bertaraf internasional tetap dapat untuk dikembangkan.
Hal pertama yang harus dilakukan untuk dapat mengembangkan kompetensi nilai adalah adanya kompetensi dari guru tentang kepekaan dan the worth of value untuk dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang berorientasi pada nilai. Shasedri (2005:12) menyatakan bahwa guru perlu memiliki kemampuan the moral and aesthetic sensibilities, untuk dapat mencapai tingkatan kesadaran nilai, untuk menjadikan siswa dapat berpikir secara bebas dan kritis, mengembangkan kemampuan untuk membuat keputusan/ bertindak serta rasional dengan mempertimbangkan kebaikan social. Guru juga perlu untuk mengarahkan agar siswa dapat bertindak selaras dengan seni, dengan keindahan alam, dan hubungan social serta mengarahkan siswa utnuk dapat mengembangkan kepekaan moral.
Dalam keterkaitannya antara sekolah dan pendidikan moral, Strike (dalam Nucci :131), menyatakan bahwa terdapat 2 tipe pendidikan moral dalam suatu komunitas, yaitu (1) communities of practice yaitu komunitas yang menyediakan beberapa unsur pendidikan moral
sejauh mereka mampu mendukung norma justifi dan suatu hal yang terpuji; (2) community which characterized by moral commitments that emphasize caring, love, inclusion, and justice. Dengan adanya dua konsepsi tersebut, Strike merekomendasikan cara dalam memadukan antara tipe yang pertama dan kedua yaitu (a) menekankan aktivitas praktik sehingga dapat menyeimbangkan antara norma internal pada diri individu dan peran sertanya dalam hal pencapaian suatu hal/pengetahuan; (b) memberikan aktivitas cooperative learning, sehingga diharapkan dapat muncul suatu pemahaman pada diri siswa bahwa “we are all together”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rekomendasi dari Stike, kompetensi nilai baik dari segi individu maupun social dalam pembelajaran dapat dikembangkan.




PENUTUP

Dalam pelaksanaan pendidikan pada sekolah bertaraf internasional di Indonesia tidaklah dapat dapat dipisahkan dari kompetensi nilai-nilai. Nilai yang dimaksud tidak terlepas dari konteks nilai yang ada pada diri individu sebagai diri sendiri serta individu sebagai makhluk social yang ada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kompetensi nilai dalam kelas bertaraf internasional seyogyanya juga memperhatikan hakekat nilai diri yang ada pada individu sebagai nilai diri dan nilai social, dan lebih khusus lagi, nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan nilai jati diri bangsa yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan.
Untuk dapat mengembangkan kompetensi nilai dalam kelas bertaraf internasional diperlukan adanya sinergisitas antara kurikulum, tujuan serta metode dengan nilai-nilai (value) dalam pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, kemampuaan serta kepekaan guru tentang nilai (norm sensibility) juga sangat diperlukan agar dapat mengarahkan siswa agar siswa mampu mengkonstruksi dan mencapai kompetensi nilai tersebut.





DAFTAR PUSTAKA
Nucci, L.P & Narvaez, D.(2008). Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge.
Idris Harta. (2011). Pengintegrasian Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Matematika SMP/MTs. Tersedia di http://idrisharta.blogspot.com/2011/04/pendidikan-karakter-matematika-smp.html, diakses pada 1 Desember 2011.
Seshadri, C. (2005). Journal of Value Education: An Approach to Value Orientation of Teachers’ Education.Tersedia di http://www.ncert.nic.in/publication/journals/ journals.html#. Diakses pada 19 Desember 2011.
Joshi, M.(2002). Philosophy of Value-Oriented Education. Tersedia di http://ifihhome.tripod.com/ articles/voe01.html. Diakses pada 19 Desember 2011.
Tim Sprod.(2001). Philosophical Discussion in Moral Education: The community of Ethical Inquiry. New York: Routledge

Rabu, 23 November 2011

Logika untuk Membangun Filsafat

Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya. Sedangkan filsafat itu sendiri merupakan suatu kegiatan olah piker. Oleh karena itu, tentu terdapat suatu keterkaitan antara logika dan filsafat.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Logika tidak bisa dihindarkan dalam proses hidup mencari kebenaran. Demikian halnya dalam pembelajaran matematika. Perlu diketahui bahwa hakekat matematika yang tidak tunggal, maka dalam hal ini logika sangat diperlukan sekali dalam mencari kebenaran dalam matematika.
Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif, kadang disebut logika deduktif yaitu penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Penalaran induktif, kadang disebut logika induktif, yaitu penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Dengan menggunakan logika, ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh antara lain yaitu (1) membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren. (2) Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif, (3) menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri, (4) memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis, (5)meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan, serta kesesatan, (6)mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian, (7) terhindar dari klenik , gugon-tuhon ( bahasa Jawa ), (8) apabila sudah mampu berpikir rasional, kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.
Denga demikian, dengan menggunakan logika kita dapat mempelajari dan membangun filsafat secara logis, sistematis, mensintesis tesis dan tesis, analitis, sehingga kita dapat meningkatkan dimensi kita dalam kaidah ruang dan waktu yang sesuai, dengan tetap menyertakan hati sebagai komandan dalam setiap langkah kita.

Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Logika